Longsor Tambang Cirebon: Kementerian ESDM Turun Tangan, Izin Dicabut, Investigasi Diperketat

CIREBON – Tragedi longsor yang terjadi di area pertambangan batu alam di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menggugah keprihatinan mendalam dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Peristiwa yang menelan korban jiwa itu langsung direspons cepat oleh Tim Inspektur Tambang (IT) dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, yang kini terus melakukan verifikasi lapangan guna memastikan penyebab bencana dan mencegah kejadian serupa terulang.
Juru Bicara Kementerian ESDM, Dwi Anggia, dalam keterangannya pada Minggu (1/6), menyampaikan duka cita mendalam atas peristiwa ini. “Atas nama Kementerian ESDM, kami menyampaikan belasungkawa yang sebesar-besarnya. Saat ini tim kami sudah berada di lapangan sejak Sabtu kemarin untuk mengidentifikasi faktor penyebab serta memastikan keamanan lokasi,” ujarnya.
Kementerian ESDM menegaskan bahwa secara regulasi, perizinan tambang batuan berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022. Meski demikian, Kementerian tetap hadir untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan tambang dijalankan dengan prinsip tata kelola yang bertanggung jawab, memperhatikan aspek keselamatan pekerja serta lingkungan sekitar.
Sejak tiba di lokasi, Tim Inspektur Tambang langsung berkoordinasi dengan Komandan Kodim (IC Commander) setempat dan menggunakan drone untuk memantau kondisi lereng pascalongsor. Tim juga melakukan asesmen potensi longsor susulan, mengingat area tersebut masih rawan dan membahayakan proses evakuasi serta pencarian korban.
Hingga laporan terakhir per 31 Mei 2025, total korban yang tercatat berjumlah 33 orang. Dari jumlah tersebut, 17 orang dinyatakan meninggal dunia, 8 orang mengalami luka-luka, dan 8 lainnya masih dalam pencarian. Basarnas bersama BPBD Cirebon, TNI-Polri, serta aparat daerah turut bahu-membahu dalam proses evakuasi, meskipun terhambat oleh cuaca serta kondisi geologi yang labil.
Dari data yang dihimpun, lokasi tambang ini berada di bawah pengelolaan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al-Azhariyah, yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan SK DPMPTSP Provinsi Jawa Barat Nomor 540/64/29.1.07.0/DPMPTSP/2020. Namun, diketahui bahwa sejak 2024, koperasi tersebut tidak memiliki dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), dan telah beberapa kali diperingatkan oleh Dinas ESDM Provinsi.
Sebagai bentuk tindakan tegas, Gubernur Jawa Barat pada 30 Mei 2025 mengeluarkan SK pencabutan izin operasi produksi terhadap IUP Kopontren Al-Azhariyah, menyusul temuan pelanggaran administratif dan ketidakpatuhan terhadap peringatan penghentian operasi. Tak hanya itu, tiga izin lainnya di area Gunung Kuda yang diduga satu grup dengan Al-Azhariyah turut dicabut.
Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, menyatakan bahwa insiden ini adalah akumulasi dari pembiaran atas aktivitas tambang tanpa kelengkapan dokumen resmi. “Peringatan sudah kami berikan sejak lama, dan puncaknya pada 19 Maret 2025 kami minta kegiatan dihentikan. Karena tidak diindahkan, maka kejadian fatal ini pun terjadi,” ungkapnya tegas.
Peristiwa tragis di Cirebon menjadi peringatan keras bagi seluruh pelaku usaha pertambangan di Indonesia. Kepatuhan terhadap aturan, keselamatan kerja, serta tanggung jawab lingkungan bukanlah formalitas, melainkan fondasi utama dalam praktik pertambangan yang berkelanjutan dan beretika.(wn/Hera)