Merdeka Belajar Vs Belajar Merdeka, Sebuah Artikel Refleksi Hardiknas 2023. Oleh Supriyono, S.Pd., M.Pd.

Merdeka Belajar Vs Belajar Merdeka, Sebuah Artikel Refleksi Hardiknas 2023. Oleh Supriyono, S.Pd., M.Pd.
Foto : Supriyono, S.Pd., M.Pd., Kepala KWK Bantarbolang - Pemalang - Jawa Tengah

Pemalang, RILISBERITA.COM | Jika seluruh perjalanan kehidupan ini adalah proses pembelajaran, maka tepatnya "merdeka belajar" atawa "belajar merdeka?" Pada FGD di Taman Siswa Yogyakarta (April 2023) dalam rangka heuristik untuk penulisan Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia, Ki Priyo Dwiyarso mengemukakan, "Merdeka Belajar" yang diusung Kemendikbud, menjadikan kata "Merdeka" sebagai subjek, sehingga membawa arah pembelajaran menjadi liar. Inilah yang menjadikan istilah Merdeka Belajar dirasa kurang pas untuk menjadi dasar pendidikan saat ini. Sebetulnya lebih pas "Belajar Merdeka". Di sini "Belajar" yg menjadi subjek. Dalam hukum DM, "Belajar" yg menjadi pokok semesta pembicaraan (D=Diterangkan) dan "Merdeka" komponen penjelas (M=Menerangkan). Sedangkan "Merdeka Belajar" sangat mengganggu orang lain atau golongan lain," ujarnya.

Putra dari Ki Hadi Sukitno, tangan kanan Ki Hadjar Dewantara, menuturkan Belajar Merdeka itu berarti merdeka atas diri sendiri. Minat dan bakat siswa itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Konsep itu yang dibawa Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini dengan harapan tak digerus perkembangan zaman. Serta, menjadi cetak biru dalam membangun pendidikan Indonesia. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”._ (Ki Hajar Dewantara). Berdasar pada pemikiran itu, kita haruslah memandang siswa bukan sebagai botol kosong melainkan sebagai individu yang memang secara kodrati memiliki potensi. Karenanya, proses interaksi pembelajaran yang dilakukan oleh guru bersama siswa hakikatnya adalah sebuah proses sang guru membantu dan menuntun siswa dalam mengoptimalkan kompetensinya. Sehingga, proses pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai upaya mengejar target ketuntasan kurikulum melainkan lebih kepada sebagai upaya untuk selalu membantu, menuntun, dan melayani siswa dalam mengoptimalkan kompetensinya. 

Potensi yang dimiliki oleh setiap siswa jelaslah tidak sama. Sebagaimana Ki Hajar menganalogikan siswa ibarat benih padi dan benih jagung, dan guru ibarat petani yang menanam benih-benih tersebut. Akankah benih padi yang ditanam tumbuh menjadi jagung, atau sebaliknya benih jagung yang ditanam tumbuh menjadi padi? Tentu saja tidak. Benih padi akan tetap tumbuh menjadi padi sebagaimana benih jagung yang ditanam juga akan tumbuh menjadi jagung. Namun, akankah ketika benih padi dan jagung yang ditanam tersebut tumbuh menjadi subur?Jawabannya: belum tentu. Akan sangat tergantung bagaimana petani melakukan proses perawatan terhadap kedua jenis tanaman itu. Para siswa sebagai benih dinamis dengan keragaman potensi yang dimilikinya berkembang dengan baik atau tidak sangat tergantung kepada gurunya.

Walapun memang guru tidak dapat mengubah kodrat dasar yang telah siswa miliki, namun guru sangat berperan dalam memberikan perlakuan yang baik kepada mereka dan menuntun menghindarkan mereka dari pengaruh tidak baik yang akan merusak kodrat potensi yang dimilikinya. Guru senantiasa memahami bahwa pada dasarnya siswanya merupakan individu-individu yang berbeda baik karakteristiknya, gaya belajarnya, keadaan keluarganya, daya dukung ekonominya, tingkat intelegensi kognitifnya, minatnya, bakatnya, serta hal-hal berbeda lainnya. Maka atas keragaman tersebut, guru haruslah mampu menerima semuanya secara inklusif untuk selanjutnya memberikan perlakuan beragam yang tepat terhadap setiap siswanya. Jangan paksa siswa yang beragam tersebut melalui proses pembelajaran yang seragam. 

Guru diharapkan mengetahui secara mendalam keragaman yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu guru diharapkan melakukan asesmen awal. Melalui asesmen awal ini guru selanjutnya diharapkan mampu memberikan perlakuan pada proses pembelajaran dengan tingkat capaian yang disesuaikan dengan kemampuan awal setiap siswa, dan guru sadar akan apa yang harus dilakukan dalam melayani dan menuntun para siswa melalui proses pembelajaran. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran juga dengan cara melakukan asesmen, dengsn orientasi asesmennya yang harus bergeser. Apa yang selama ini biasa dilakukan berupa asesmen pada akhir proses pembelajaran (assessment of learning) harus mulai digeser ke dalam asesmen sebagai pembelajaran (assessment as learning) dan asesmen untuk pembelajaran (assessment for learning). yakni asesmen yang diarahkan sebagai bahan refleksi dan perbaikan pembelajaran.

Hasil belajar tidak lagi sepenuhnya terletak pada data berbentuk numeratif melainkan lebih menitikberatkan pada data berbentuk deskriptif. Oleh karena itu, Kurikulum Merdeka lebih dimaknai sebagai "bagaimana para guru melakukan peningkatan kualitas proses pembelajaran yang bermakna," yakni proses pembelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan capaian belajar siswa, membangun kapasitas belajar siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat, mendukung perkembangan kognitif dan karakter siswa menyesuaikan konteks kehidupan, serta mengarah pada masa depan kemanusiaan yang lebih bermartabat. Menjawab pertanyaan Dr. Siskandar berkaitan dengan asesmen, Ki Priyo menguraikan, "Kurikulum jangan dijadikan alat untuk menjajah anak didik." Terjajahnya anak didik dalam kurikulum, malah membunuh pengembangan bakat yang digaungkan oleh pahlawan nasional itu.

"Pikiran kok sampai terjajah? itu artinya terjajah intelektualisme. Ki Hajar mengatakan, "Saya tidak suka orang yang terlalu intelek tapi mengabaikan karakter. Artinya belajar itu tidak hanya kognitif, Tapi afeksinya, rasanya, tidak harus hilang," jelas dia, sembari mengenang sosok Ki Hadjar Dewantara. Ia melanjutkan, pendidikan karakter dalam membangun bakat semakin terasa penting dan tak boleh tersingkirkan. Karakter merupakan kunci utama dalam membangun setiap insan pendidikan. Guru bisa mengukur kemampuan anak didiknya dengan cara yang lebih deskriptif. Bagi Ki Priyo, deskripsi kalimat ini bisa menjelaskan seperti apa karakter anak didik yang sesungguhnya.

Ki Priyo menambahkan, secara filosofis asas pendidikan yang dicanangkan Ki Hajar adalah:

   (1) Asas Kemerdekaan (2) Asas Kodrat Alam (3) Asas Kebudayaan (4) Asas Kebangsaan (5) Asas Kemanusiaan. Ini tentunya sejalan dengan asas teologis, bahwa kita tidak bisa menembus iradat dan kodrat Tuhan. Akan tetapi manusia mempunyai kemerdekaan dalam ikhtiar, kendati energi ikhtiar juga atas kodrat dan iradat ilahiyah. Karenanya dalam ikhtiar juga kita selalu berbarengan dengan gerak dan doa serta mengerahkan akal budi dengan pertimbangan kemanusiaan sebagai warga umat bangsa untuk mengubah kualitas kehidupan yang lebih salih. "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (Ar-Ra'ad: 11). Menjadi tepatlah: Belajar Merdeka -- Kurikulum Merdeka -- Manusia Merdeka -- Bangsa Merdeka.

Selamat Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2023 BERGERAK BERSAMA SEMARAKKAN BELAJAR MERDEKA.